Wahanakonsumen.com | GIMNI menjawab dugaaan kartel oleh perusahaan di balik melonjaknya harga minyak goreng.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyatakan sebetulnya pengusaha sudah berkomunikasi dengan KPPU terkait alasan kenaikan harga minyak goreng pada 18 Januari lalu.
Baca Juga:
KPPU Terima 14 Ribu Petisi, Desak Usut Tuntas Dugaan Kartel Minyak Goreng
Dugaan tersebut sebelumnya disampaikan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Menurut dia, GIMNI telah mengikuti acuan harga yang ditetapkan tender PT Perkebunan Nusantara (PTPN) lewat anak usahanya PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN).
Dia menjelaskan tender acuan KPBN digunakan karena dinilai perusahaan sebagai pihak netral yang tak berbisnis di sektor hilir dan merupakan perusahaan pelat merah. Oleh karena itu, ia mengklaim pengusaha tidak punya kemampuan untuk mengatur harga minyak goreng.
Baca Juga:
Soal Dugaan Kartel Migor, KPPU Panggil 19 Perusahaan
"GIMNI sudah memberikan gambaran yang membentuk harga sawit di dalam negeri itu siapa. Jadi, semua perusahaan dalam negeri harga sawitnya selalu berpegang pada tender yang dilakukan oleh PT KPBN," katanya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/1).
Ia mencontohkan per hari ini, Jumat (21/1), KPB di Dumai, Riau, mematok harga lelang CPO di level Rp15.200 per kilogram. Dengan patokan harga CPO di atas HET minyak goreng, maka tak heran jika harga minyak goreng di masyarakat melambung.
"Nah sekarang coba tanya ke PTPN mau enggak mereka jual harga Rp11 ribu? Harga pasar dunia Rp15 ribu, harga diturunkan untuk penggunaan domestik, kan enggak juga, mereka juga mau untung katanya kan," beber Sahat.
Selain itu, Sahat mengungkapkan meski RI merupakan produsen CPO terbesar, namun faktanya Indonesia buat penentu harga internasional (price leader). Ia menuturkan dari total produksi Indonesia, hanya 35 persennya saja yang mampu diserap oleh konsumsi dalam negeri.
Karena mayoritas produksi masih diekspor ke pasar internasional, ia menyebut harga patokan pun mau tak mau mengikuti pasar luar, seperti acuan Rotterdam.
"Sawit itu tidak lagi milik Indonesia, sawit itu sudah menjadi komoditas dunia karena volume kita pun hanya 35 persen yang domestik, yang 65 persen kan harga di pasar luar negeri," terang dia.
Sahat pun balik mempertanyakan alasan di balik gembar-gembor KPPU saat harga CPO melonjak. Pasalnya, ia menilai saat harga CPO sedang jeblok dan petani sawit menjerit, tak ada intervensi yang dilakukan.
Dia juga mengklaim sudah sejak 2016 meminta pemerintah untuk mengatasi volatilitas gejolak harga yang kerap terjadi. Ia sempat mengusulkan agar di setiap daerah bisa diinvestasikan mesin packing minyak goreng agar harga bisa ditekan ,mengingat saat ini kebanyakan pabrik berpusat di Pulau Jawa, sedangkan kebunnya di luar Jawa.
Sayangnya, kata Sahat, tak ada yang menanggapi usulannya. "Jadi saya lihat ini ada movement (gerakan) politik apa? Tapi saya tidak mau menyangkut ke situ. Namun, realitasnya bahwa harga produksi itu sangat dipengaruhi oleh harga pasar internasional," jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris PTPN Group Dahlia Mutiara Chairuman menyatakan pihaknya belum bisa menjawab dan harus melakukan pengecekan ke divisi terkait. "Saya teruskan dahulu ke divisi terkait," jawabnya.
Sebelumnya, KPPU mengendus sinyal penetapan harga serempak alias kartel oleh perusahaan minyak goreng dalam negeri. Pasalnya, harga minyak goreng dalam negeri melambung walau setiap produsen minyak goreng di Indonesia memiliki kebun kelapa sawit (CPO) masing-masing.
Komisioner KPPU Ukay Karyadi menilai kenaikan harga CPO di pasar internasional seharusnya tidak mempengaruhi minyak goreng di Indonesia karena RI merupakan pemasok sawit dunia. Di sisi lain, harga pokok produksi (HPP) juga tak berubah.
Oleh karena itu, ia melihat ada indikasi para produsen minyak goreng 'aji mumpung' memanfaatkan kenaikan harga internasional sebagai alasan untuk menaikkan harga minyak goreng di dalam negeri.
Namun, ia menyebut KPPU tidak bisa memastikan terjadi kartel karena dugaan harus dibuktikan secara hukum.
"Maka saya katakan apakah ada sinyal kartel? Sinyal sih terbaca tapi masalah terbukti atau tidak kartel harus dibuktikan secara hukum," kata Ukay pada konferensi pers daring, Kamis (20/2). [tum]