Meski kalah, Arifin mengatakan pemerintah tak akan menyerah. Ia menegaskan Indonesia siap mengajukan banding atas putusan itu.
"Pemerintah berpandangan keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga masih terdapat peluang untuk appeal atau banding. Pemerintah juga tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang tidak sesuai sebelum keputusan diadopsi oleh Dispute Settlement Body (DSB)," jelasnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Senin (21/11).
Baca Juga:
Hadiri Pertemuan Informal Tingkat Menteri WTO, Wamendag: Momentum Akselerasi Kerja Sama Antar Negara
Selain banding, Arifin melanjutkan pemerintah bakal terus mempertahankan kebijakan hilirisasi mineral yakni nikel dengan cara mempercepat proses pembangunan smelter di dalam negeri.
Pemerintah melarang ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020 dengan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Jadwal pelarangan ini lebih cepat dua tahun dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang perubahan keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang memperbolehkan ekspor tersebut hingga 2022.
Baca Juga:
Soal Nikel Indonesia Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kalah Lagi!
Tapi kebijakan itu memicu protes dari Uni Eropa karena menganggap larangan ekspor nikel mengganggu produktivitas industri stainless steel mereka yang melibatkan 30 ribu pekerja langsung dan 200 ribu pekerja tidak langsung. Karena itu mereka menggugat kebijakan Indonesia itu ke WTO. [tum]