Oleh: AM Hendropriyono
Wahanaadvokat.com | Pada bulan Mei 2020 masyarakat gempar karena kejadian pemerkosaan oleh Herry Wirawan, pemilik dan pengasuh pondok pesantren Madani (Manarul Huda Antapani) Boarding School terhadap 13 santriwatinya sendiri di Cibiru Bandung. Perbuatan yang menjijikkan itu dinilai umum sebagai amoral, karena melanggar norma moral sosial. Mereka melakukan serangkaian hubungan sex bukan di tempat umum seperti di pinggir jalan raya Cihampelas atau di tengah pasar Kosambi yang ramai.
Baca Juga:
Hendropriyono Tegur dan Ancam Deddy Corbuzier, Singgung Tentang Norma Moral
Herry Wirawan semula merasa dia membantu anak-anak miskin, agar dapat mengenyam pendidikan tanpa bayaran yang mahal. Namun dengan bantuannya itu justru membuat dia tergoda sampai lupa diri, sehingga dia diduga melakukan hubungan sex dengan 13 santrinya dengan paksa dan ada juga yang terpaksa. Begitulah dugaan masyarakat dan para penegak hukum terhadapnya.
Ia kini masuk kedalam tuduhan hukum sebagai tindak pidana perkosaan, walaupun ia berdalih perbuatannya itu karena suka sama suka. Mereka berhubungan sex rata-rata bukan sekali dan bukan hanya di kantor yang dikuasai penuh olehnya, tetapi juga di hotel dan apartemen sewa yang merupakan tempat mereka berhak bebas dalam pemandangan yang tertutup dari umum.
Perbuatan yang ia sadar adalah salah dalam nilai moral yang dijunjung masyarakat, dilakukannya dengan sembunyi-sembunyi yang berarti berperilaku yang imoral. Tuntutan masyarakat kita untuk suatu perbuatan yang amoral, bukan imoral, telah dituangkan ke dalam UU RI 35/2014 yang merubah UU RI 23/2002, tentang perlindungan anak terhadap perkosaan dan sanksi terhadap pelaku percabulan.
Baca Juga:
Dokter Alex Perkasa, Hmm… Siapanya Panglima TNI Terpilih Nih?
Masyarakat kemudian bersorak sorak bergembira ketika mendengar Herry Wirawan dituntut jaksa dengan sanksi hukuman mati dan hukuman tambahan dikebiri, seolah-olah mereka lupa bahwa negara Pancasila ini harus mendukung tuntutan rasa keadilan masyarakat, tetapi tidak boleh memaksakan rasa keadilan masyarakat kepada moral yang dijunjung oleh individu para korban termasuk beberapa peserta didik lainnya.
Ada perbedaan yang jelas antara mendukung suatu nilai moral sosial, dengan memaksakan moral sosial tersebut kepada individu. Moral yang dijunjung oleh setiap individu korban adalah dalam membela hak-hak perdatanya, yang menyangkut pengembalian kepercayaan nama baik bagi kehidupan orang muda, masalah kewarisan, status keayahan dan hari depan bayi-bayi yang lahir darinya terurus dengan baik. Perbedaan dua sudut pandang moral yang berbeda tersebut tidak hadir dalam suasana kebatinan pada saat Undang-Undang yang menjadi dasar tuntutan dibuat dan dirubah.
Moral sosial yang kita junjung adalah demi kebaikan negara, yaitu memberikan efek jera kepada Herry Wirawan dan kepada individu-individu atau kelompok masyarakat lainnya agar tidak berbuat seperti itu. Namun para korban terutama santriwati-santriwati itu tidak boleh dipaksa sehingga mengalami kematian perdata (civiliter murtuus). Kita tidak bisa menyalahkan jaksa yang menuntut Herry Wirawan dengan hukuman mati dan tambahan dikebiri, karena aturan perundang-undangan memang memberinya keleluasaan untuk itu.