Karena itu, menurut Fadhil, penerapan ini menjadi tidak relevan lagi dan sudah seharusnya Majelis Hakim mengesampingkan dakwaan pasal ini.
Selain itu, Fadhil juga menilai unggahan Roy Suryo tidak memenuhi itikad buruk/evil mind/mens rea berupa "adanya maksud agar orang tidak menganut agama apapun yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa" yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP.
Baca Juga:
Terkait Akun Fufufafa, Pasukan Bawah Tanah Jokowi Adukan Roy Suryo ke Polisi
"Sedangkan di dalam unggahan Roy Suryo tidak terdapat ajakan atau seruan agar orang tidak menganut agama apapun, melainkan hanya membicarakan terkait kebijakan pemerintah tanpa menyinggung agama apapun. Maksud dari perbuatannya hanya untuk mengkritik kebijakan pemerintah tentang harga tiket masuk Candi Borobudur yang dirasa terlalu mahal," jelas dia.
Fadhil menjabarkan tiga rekomendasi dari pihaknya dalam perkara ini. Pertama, agar Majelis Hakim pada perkara ini menjunjung tinggi penegakan hukum dan HAM dalam memutus perkara a quo. Terutama, yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana dijamin di dalam konstitusi, yaitu pasal 27 ayat (1), pasal 28 E ayat (3), dan pasal 28 D UUD 1945.
Lalu, proses hukum terhadap Terdakwa Roy Suryo harus dijalankan dengan kepatuhan dan ketaatan terhadap posisi ultimum remedium hukum pidana dan batas-batas unsur pasal yang didakwakan. Tanpanya, proses hukum ini akan menjadi peradilan yang sesat atau miscarriage of justice.
Baca Juga:
Seruan Pemecatan untuk Budi Arie Menggema Imbas Kebocoran Pusat Data Nasional
Selain itu, agar Majelis Hakim menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa. Sehingga Pasal 28 ayat (2) UU ITE, Pasal 15 UU 1/1946, dan Pasal 156a KUHP yang dirumuskan dengan tidak cukup jelas dan dirumuskan secara luas tanpa ada penjelasan yang memadai itu dapat dihindari penggunaannya oleh hakim. Sebab, sangat berpotensi disalahgunakan dalam wujud kriminalisasi.
"Hal tersebut sebagaimana tergambar dalam kasus ini dan juga menurut berbagai kajian lembaga riset dan ilmuwan menjadi penyebab mundurnya demokrasi di Indonesia," imbuh dia.
Diberitakan, Roy dituntut terbukti menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA terkait unggahan stupa Candi Borobudur yang diedit mirip wajah Presiden Joko Widodo.