Departemen Sumber Daya, Energi, dan Turisme Australia memperkirakan aliran minyak yang tumpah sekitar 2000 barel per hari.
Tumpahan minyak ini baru bisa teratasi pada November 2009 atau setelah 74 hari dan menumpahkan sekitar 40 juta liter minyak ke perairan antara Indonesia dan Australia.
Baca Juga:
Tersangka Kasus Pembunuhan Berencana Dikenakan Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2009 melansir, 29 hari setelah ledakan, tumpahan minyak menyebar ke arah barat, berada sekitar 110 km pesisir Namodale, Rote Ndao dan 121 km Oetune, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Citra satelit Terra-MODIS pada 28 September 2009 mendeteksi tumpahan minyak kembali mendekati perairan Indonesia dengan jarak paling dekat, sekitar 47 km dari pesisir Rabe, Kupang dan 65 km dari Batuidu, Rute Ndao, NTT.
Tumpahan minyak ini menghancurkan panen rumput laut para petani pada 2009. Pemerintah menemukan ada tigabelas kabupaten di NTT yang terkena dampak dari kasus Montara.
Baca Juga:
Ungkap Kasus Pembakaran Rumah Wartawan: Dua Tersangka Ditangkap, Kasus Terus Ditindaklanjuti
Berbagai upaya dilakukan masyarakat untuk menuntut keadilan. Pada tahun 2016, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat, Ferdi Tanoni mendaftarkan gugatan kepada pemerintah Federal Australia dan perusahaan pencemar asal Thailand PTTEP.
Rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi korban pencemaran minyak itu mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah Federal Australia di PBB sebesar US$ 15 miliar atau sekitar Rp209,3 triliun.
Class action ini diajukan dengan pengadu Daniel Sanda, seorang petani rumput laut dari Pulau Rote mewakili lebih dari 15.000 petani rumput.