Besar, yang lahir di Brebes, Jawa Tengah, 8 Juli 1894, merupakan putra Mas Soemoprawiro Soemowidjojo, seorang mantri gudang garam di Pemalang. Dilahirkan dari keluarga seorang priyayi, Besar bisa sekolah di Europeesche Lagere School (ELS setingkat SD sekarang) di Pekalongan. Lalu ia melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang. Di sini ia tak menamatkan sekolahnya, karena memilih masuk ke Recht School di Batavia.
Setamat sekolah di Batavia, Besar langsung bekerja sebagai pegawai di bagian kepaniteraan di Pengadilan Negeri Pekalongan. Lalu ia dipindahkan ke pengadilan di Semarang. Karena sering melihat kesewenang-wenangan pengadilan kepada para pesakitan asli bumi putera oleh hakim dan jaksa Belanda, Besar tergerak hatinya untuk melanjutkan studi sarjana hukum yang di masa kolonial bergelar Meester in Rechten (Mr). Ia ingin menjadi pengacara, dan tentunya dengan bergelar Mr.
Baca Juga:
Rahmansyah Siregar SH & Partners Berhasil Menangkan Gugatan Perkara Perdata Sengketa Lahan
Berangkatlah Besar ke Negeri Kincir Angin itu sekitar tahun 1919-1920. Ia berangkat menuju Universitas Leiden, Belanda, dengan bermodalkan biaya sendiri. Di sana Besar studi hampir empat tahun di Fakultas Hukum. Setelah lulus, Besar diberi dua pilihan, yaitu menerapkan ilmunya dan bekerja di Belanda, atau pulang ke Indonesia.
Nama Besar dijadikan nama Gedung Perpustakaan Kota Tegal
Besar memilih pulang ke Indonesia, apalagi sudah mengantongi gelar Mr-nya. Mereka yang memilih pulang rata-rata langsung bekerja di pengadilan. Tapi, Besar memilih membuka kantor firma hukum (advokat) di Tegal tahun 1923.
Baca Juga:
Polisikan Advokat LBH Jogja, Pengacara Alumnus UII Buka Suara soal
Kala itu berprofesi sebagai advokat sering mendapatkan kecaman dan dianggap tak mentereng seperti jabatan di pemerintahan. Hal serupa dialami Besar, ayahnya yang seorang priyayi dan memiliki jabatan di pemerintah berupaya melarangnya menjadi pengacara.
Besar bergeming pada pendiriannya. Ia tetap bertekad untuk mengabdi membela masyarakat miskin dan lemah di pengadilan.
"Kemungkinan Tegal dipilih, karena disitulah keluarga dan teman-temannya berada. Beberapa kantor advokat orang Belanda saat itu juga sudah berdiri di Tegal," tulis Lev dalam bukunya itu.