"Makanya segala upaya dilakukan untuk penghematan. Tapi masalahnya, apakah penghematan harus dengan cara pencabutan BBM dan subsidi?" kata Bhima.
Baca Juga:
Sediakan Layanan Premium, PLN Jamin Keandalan Listrik Masjid Raya Sheikh Zayed Solo
"Relokasi anggaran saja yang lain, masih banyak ruang fiskal, seperti belanja barang pemerintah, belanja pegawai pemerintah, belanja pembayaran bunga utang, sebelum menyasar kepada barang kebutuhan dikonsumsi masyarakat banyak," ujarnya.
Berdasarkan data Pertamina, November 2020, konsumsi BBM Nasional terbesar adalah jenis Pertalite sekitar 63%, lalu Premium 23%, Pertamax 13% dan Pertamax Turbo 1%.
"Artinya kalau dihapus dan digeser ke Pertamax maka implikasinya akan terjadi inflasi yang tinggi, mungkin hiperinflasi karena ketergantungan Pertalite dan Premium yang tinggi.
Baca Juga:
Pertamina Resmi Hapus BBM Beroktan Rendah Premiun Mulai Tahun Depan
"Ditambah lagi, dengan kondisi sekarang pengaruh pandemi. Daya beli belum pulih, gas LPG non-subsidi naik, kebutuhan pokok naik, tarif listrik diusulkan naik, tarif PPN dari 10% menjadi 11%, dan sekarang BBM hilang, kemiskinan dan ketimpangan diprediksi akan semakin tinggi tahun 2022," kata Bhima.
Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM mengkategorikan tiga jenis BBM.
Pertama, jenis BBM tertentu (JBT) yang harganya ditetapkan pemerintah dan disubsidi yaitu minyak solar dan minyak tanah.