"Kita punya pengalaman traumatik saat bikin sanering. Nah, sehingga apabila kebijakan ini dilakukan pada saat ekonomi itu belum stabil, itu dikhawatirkan membuat isu yang tidak-tidak," ujarnya.
Erwin melanjutkan, apabila kebijakan redenominasi itu dikaitkan dengan sanering akan membuat persepsi masyarakat mengenai nilai rupiah dan tujuan untuk menyederhanakan pecahan nilai rupiah itu pudar.
Baca Juga:
Drama Baru Korupsi CSR BI: Satori Dicecar, Heri Gunawan Mangkir Karena Sakit
"Maksud kepraktisan itu bisa berbalik, orang malah panik, tidak mau megang rupiah dan sebagainya. Sehingga, poin saya ide tentang redenominasi itu tidak pernah mati sebetulnya. Tapi kita sedang betul-betul mencari timing yang tepat," tutur Erwin.
"Sambil menunggu timing yang tepat, juga dibutuhkan sosialisasi yang masif untuk mengatakan kepada masyarakat, sebetulnya tidak ada berubah (nilai mata uangnya), selain nol-nya yang hilang (berkurang)," ujar Erwin lagi.
Untuk diketahui, redenominasi kerap kali disamakan dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang. Padahal redenominasi dan sanering merupakan dua kebijakan yang berbeda sama sekali.
Baca Juga:
Dukung Upaya Digital Sistem Pembayaran di Papua, Ini Kata PJ Gubernur
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya, untuk menyederhanakan pecahan uang agar lebih mudah dan nyaman dalam melakukan transaksi. Sehingga tidak perlu banyak angka nol di belakang angka nominal.
Contoh dari redenominasi rupiah yakni misalnya nilai uang Rp 1.000 akan tetap sama dengan Rp 1 jika sudah diredenominasi. Contoh kasus, seseorang membeli barang seharga Rp 1.000, sesudah redenominasi, orang tersebut masih bisa membeli barang tersebut dengan pecahan uang Rp 1 karena nilainya sama.
Sedangkan sanering adalah pemotongan nilai uang, bahkan bisa separuhnya. Sanering biasanya dilakukan saat ada gejolak perekonomian suatu negara, misalnya hiperinflasi. Pemotongan nilai uang atau sanering untuk memangkas daya beli yang teramat tinggi.