"Tindakan ini menimbulkan efek rambatan ke berbagai negara. Volatilitas pasar keuangan melonjak, capital outflow terjadi di negara berkembang dan emerging dan ini akan menekan nilai tukar rupiah, meningkatkan lonjakan biaya utang," jelasnya.
Kondisi ini tentu membuat negara yang sebelum dan selama pandemi kondisi keuangan negaranya memburuk jadi makin buruk. Rasio utangnya menjadi di atas 60 persen, dan bahkan ada yang sampai 100 persen.
Baca Juga:
Sri Mulyani Tak Ada Jadwal Pertemuan dengan Cristiano Ronaldo, Begini Klarifikasinya
"Sehingga IMF menyampaikan bahwa di seluruh dunia ini ada 60 negara lebih yang berpotensi hadapi krisis utang dan ini disebabkan karena biaya bunga utang yang melonjak tinggi," imbuhnya.
Kondisi pelemahan keuangan di berbagai negara dengan inflasi tinggi, serta pengetatan suku bunga dinilai akan makin memperlemah kondisi pertumbuhan ekonomi dunia.
"Kombinasi pelemahan ekonomi dunia dan inflasi tinggi adalah sebuah kombinasi sangat rumit dan berbahaya bagi para policy maker dan perekonomian. Inilah yang kita sebut risiko perekonomian bergeser, dari tadinya mengancam dari pandemi, sekarang bergeser menjadi risiko finansial melalui berbagai penyesuaian kebijakan dan lonjakan inflasi yang tinggi," pungkasnya. [tum]