Konsumen.WahanaNews.co | Ketentuan bahwa anggota partai politik bisa menjadi gubernur BI tertera dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai ketentuan anggota partai politik bisa menjadi dewan gubernur Bank Indonesia (BI) berpotensi merusak prinsip independensi bank sentral.
Baca Juga:
Capaian Kolaborasi Kendalikan Inflasi Pangan di Papua Barat Daya Tahun 2024, Bank Indonesia Perwakilan Papua Barat Gelar Torang Locavore
Menurutnya Faisal, wacana bahwa anggota partai politik bisa menduduki posisi dewan gubernur BI sangat riskan terhadap independensi. Sebab, posisi dewan gubernur sangat strategis dalam pengambilan keputusan gubernur BI.
"Sementara anggota partai politik jelas memiliki kepentingan-kepentingan politik sepanjang itu masih menjabat. Kecuali kalau sudah tidak lagi. Ini conflict of interest (konflik kepentingan) sangat mungkin terjadi kalau itu memang betul," ungkap Faisal kepada CNNIndonesia.com, Kamis (29/9).
Oleh karena itu, ia berpendapat ketentuan anggota partai politik bisa menjadi dewan gubernur BI sebaiknya dihindari.
Baca Juga:
Bank Indonesia Kaltim: Pembangunan IKN Berdampak Positif pada Perekonomian Daerah
Faisal mencontohkan, pada masa orde baru, banyak terjadi masalah ekonomi dan krisis. Menurutnya, itu terjadi karena sering terjadi konflik kepentingan, termasuk intervensi di bank sentral oleh politisi.
"Jadi ini jangan sampai terjadi kembali, harus kita hindari, apapun yang menjadi desain dari pada UU PPSK nanti, harus tetap menjadi prinsip independensi bank sentral," ujar Faisal.
Sementara itu, Pengamat Perbankan dari Indonesia Banking School (IBS) Batara Simatupang mengatakan anggota partai politik sah-sah saja menjadi dewan gubernur BI, asalkan setelah menjabat tidak boleh berpolitik. Artinya, ia harus keluar dari partai.