"Pada agenda reformasi, hakim dan kepolisian diatur dalam konstitusi. Dibentuk badan peradilan lainnya seperti MK dan KY. Yang kita lihat seolah pelaksana hukum adalah hakim. Padahal, kita harus kita lihat keseluruhan ada kejaksaan sebagai lembaga penuntut dari negara," lanjutnya.
Oleh karena itu, Jan menilai pemerintah perlu melakukan pelurusan fungsi kejaksaan sebagai pemegang diskresi penuntutan. Ia pun mendukung DPD untuk menyuarakan amandemen konstitusi guna memperkuat sistem negara.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Korupsi Impor Gula, Kejagung Periksa Eks Stafsus Mendag
Terlebih dari hasil penelitian yang dilakukan di 132 negara, Jan mengatakan seluruhnya mengatur lembaga kejaksaan dalam konstitusi mereka.
"Kami mendukung reformasi hukum. Saya meminta DPD RI bisa menyuarakan kembali amandemen. Ini adalah kerinduan dari lembaga kami. Kami menilai penting dan tepat untuk dilakukan amandemen konstitusi. Salah satunya adalah penguatan kejaksaan dalam sistem kenegaraan kita," paparnya.
"Jadi, kerinduan ini tidak berlebihan. Inilah bentuk negara hukum. Ini adalah jaminan kemandirian kejaksaan. Ini harus menjadi catatan bersama. Ini saat yang tepat agar keberadaan kejaksaan semakin proporsional dalam konstitusi," imbuhnya.
Baca Juga:
Korban DNA Pro Menangis Minta Keadilan di Kejari Bandung: Desak agar Uang Sitaan segera Dikembalikan
Di sisi lain, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Masdar Hilmy, menyampaikan para pihak tak perlu anti dengan wacana amandemen ke-5 konstitusi. Apalagi Indonesia telah memiliki sejarah amandemen konstitusi.
Dari catatannya, Indonesia sudah beberapa kali melakukan amandemen konstitusi. Sebagai perguruan tinggi, Masdar pun mengatakan lembaganya tak anti terhadap wacana amandemen konstitusi.
"Kami melihatnya dalam konteks dorongan normatif untuk kemajuan bangsa. Pemikiran untuk kemajuan bangsa itu merupakan domain kami. Dan, amandemen dalam sejarah konstitusi kita bukan tidak ada presedennya sama sekali," katanya.