Selain itu, Mawarta juga menyoroti penindakan terhadap kepala desa yang terbukti melakukan penyelewengan dana desa. Mengingat kebanyakan biaya proses hukum lebih besar dari pada kerugian yang ditimbulkan akibat penyelewengan dana desa oleh kepala desa.
"Termasuk juga dalam rangka melakukan penindakan kepala desa, sebetulnya dari jajaran Kejagung dan Polri kan sudah restorasi justice tadi," katanya.
Baca Juga:
Mantan Kepala Kampung Meosmanggara (YM) Ditetapkan Sebagai Tersangka, Dugaan Penyalahgunaan Dana Desa
"Kalau ada kepala desa taruhlah betul terbukti mengambil uang tapi nilainya tidak seberapa kalau diproses sampai pengadilan negeri biaya lebih gede, artinya apa? Nggak efektif nggak efisien. Negara lebih banyak keluar duitnya daripada apa yang kita peroleh," lanjutnya.
Karena itu, Mawarta lebih menyarankan untuk pengembalian kerugian yang ditimbulkan akibat penyelewengan dan penyimpangan dana desa. Bahkan, jika perlu kepala desa dicopot dari jabatannya sebagai efek jera.
"Ya sudah suruh kembalikan, kalau ada ketentuannya pecat kepala desanya selesai persoalan. Kalau harus melihat putusan hakim untuk memecatnya ya bagaimana, buat aturan apalah," ucapnya.
Baca Juga:
Dugaan Penyelewengan DD, Dua Mantan Kades di Pakpak Bharat Diperiksa Kejari Dairi
"Mungkin dengan musyawarah masyarakat desa kita sampaikan 'ini kepala desamu nyolong nih mau dipenjarakan atau diberhentikan', pasti selesai. Hal seperti itu membuat jera kepala desa yang lain," lanjutnya.
Mawarta mengungkapkan hal itu karena pemberantasan korupsi tidak semata-mata tentang berapa orang yang berhasil dipenjarakan. Namun bagaimana mengembalikan kerugian ke kas desa, kas daerah maupun kas pusat.
"Tidak semata-mata upaya pemberantasan korupsi berakhir di pengadilan negeri atau keberhasilan pemberantasan korupsi dengan ukuran berapa orang banyak kita penjarakan, tidak seperti itu," ujarnya.