Wahanaadvokat.com | Gerak cepat DPR dan pemerintah dalam mengesahkan perubahan kedua UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) disebut tidak melibatkan keterlibatan publik.
Dikhawatirkan, proses ini akan terulang lagi dalam pembahasan perbaikan UU Ciptaker.
Baca Juga:
Perkuat Identitas Melayu Orang Banjar: Suara dari DMDI Indonesia
Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Ciptaker diharapkan dapat mereplikasi keterbukaan pembahasan UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Mengingat tidak ada progres signifikan dalam hal keterbukaan dan partisipasi publik (di revisi UU PPP), perbaikan UU Cipta Kerja berpotensi berakhir sama. Kepentingan yang mau disasar bukan kepentingan publik, sehingga partisipasi publik potensial dianggap tidak relevan dan formalitas,” kata Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe) Violla Reininda di Jakarta, Rabu (25/5/2022).
Salah satu amar putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja, yakni membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat yang ingin mengkritisi dan memberikan masukan. Partisipasi publik dalam pembentukan UU, kata Violla, harus dibaca bersamaan dengan beberapa aspek.
Baca Juga:
PWI Jalin Sinergi dengan KONI Jakbar Bahas Kerja Sama Publikasi Olahraga
Aspek itu, yaitu akses seluruh dokumen terkait pembentukan dan proporsionalitas waktu pembentukan dan bagaimana DPR dan pemerintah secara aktif mengundang dan melibatkan masyarakat. Namun, ketiganya tidak tercapai dalam pembahasan revisi UU PPP.
Pembahasan hanya dilakukan kurang dari dua pekan, dan dokumen tidak dapat diakses oleh masyarakat.
“Kanal-kanal, rapat-rapat terbuka di media sosial bernilai formalitas. Tidak bisa dijadikan patokan partisipasi karena tidak terdapat komunikasi dua arah dan interaktif,” kata Violla.