Momentum peresmian Peradi Tower di bilangan Jakarta Timur, Rabu (17/1/2024), merupakan saat yang tepat untuk kembali mengingatkan Ketua Mahkamah Agung Prof Syarifuddin–yang hadir ketika itu, akan pentingnya single bar pada organisasi advokat.
“Perlu saya jelaskan bahwa di seluruh dunia, organisasi advokat selalu berbentuk single bar. Tujuannya, agar memberi kepastian hukum bagi para pencari keadilan dengan kualitas advokat yang profesional,” kata Prof Otto Hasibuan Ketua Umum Dewan Pimpinan Advokat (DPN) PERADI, dihadapan Ketua MA, Wakil Ketua MPR, Wakil Ketua KPK, Kabaharkam Polri Komjen Mohammad Fadil Imran, tamu-tamu undangan lainnya, dan ratusan advokat yang memadati Peradi Tower, hari ini.
Baca Juga:
Sambut Baik Dukungan Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya, Al Haris : Buktikan Kita Solid
Coba bayangkan, lanjut Prof Otto, seorang advokat yang tidak profesional dalam menangani perkara kliennya, lalu dilaporkan.
“Sekalipun dipecat di OA yang menaunginya, dia bisa pindah ke OA lain. Begitu seterusnya. Selain itu, dengan single bar, kualitas advokat akan lebih terjamin dibandingkan kalau banyak OA,” terangnya.
Prinsip single bar, sambung Prof Otto, merupakan cara terbaik untuk memberikan pelayanan hukum maksimal kepada para pencari keadilan.
Baca Juga:
Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya Dukung Al Haris - Sani di Pilgub Jambi 2024
“Bicara advokat nakal itu banyak sekali. Bahkan pada kurun 2020-2023, Dewan Pengawas Daerah Peradi DKI Jakarta telah menyidangkan sekitar 129 kasus, akibat ketidakprofesionalan advokat yang kebanyakan dilaporkan oleh para klien. Apa kita mau demikian? Padahal, profesi advokat itu officium nobile (terhormat) atau the best among the best (terbaik di antara yang terbaik),” urainya.
Baginya, bila kondisi multi-bar ini dipertahankan terus, maka kasihan para advokat yang benar-benar berjibaku memberikan pelayanan hukum terhadap kliennya, tanpa miring ke kanan atau ke kiri.
“Jujur, saya merasa malu dengan President International Bar Association (IBA) Akira Kawamura, saat meminta menjadi Ahli pada persidangan di MK terkait single bar. Saat saya hubungi, dia bingung karena menganggap dengan UU 18/2003, Indonesia sudah menganut single bar, namun faktanya tidak demikian,” beber Prof Otto.