Menurut dia, pidana mati justru diterapkan ketika negara gagal hadir untuk korban.
"Ini adalah bentuk 'gimmick' yang diberikan sebagai kompensasi karena negara gagal hadir dan melindungi korban, sebagaimana seharusnya dilakukan. Sebagai konsekuensi dari hal ini, negara kemudian mencoba 'membuktikan diri' untuk terlihat berpihak kepada korban dengan menjatuhkan pidana-pidana yang 'draconian' seperti pidana mati," ucap Erasmus.
Baca Juga:
Akibat Pungli Rp160 Juta, Mantan Lurah di Semarang Dihukum 4 Tahun
Erasmus berujar pihaknya memahami bahwa kasus pemerkosaan belasan santriwati menyulut kemarahan publik. Namun, ia berpendapat sebaiknya kemarahan publik tersebut bukan hal yang seharusnya menjadi fokus utama di dalam proses pemberian keadilan bagi korban.
"Fokus utama kita seharusnya diberikan kepada korban, dan bukan kepada pelaku, dan hal ini yang seharusnya menjadi perhatian aparat penegak hukum dan juga hakim di dalam kasus-kasus kekerasan seksual," imbuhnya.
"Pengadilan yang saat ini sudah memiliki pedoman mengadili perkara perempuan, juga harus mulai berpikir progresif dengan memikirkan kebutuhan korban dan tidak hanya terjebak pada kemarahan pribadi yang tidak akan menolong korban sama sekali," sambungnya.
Baca Juga:
Hakim Pengadilan Kendari Vonis Seumur Hidup Pembunuh Ibu Mertua di Sultra
Ia pun mengkritik putusan hakim terkait ganti kerugian atau restitusi yang dibebankan terhadap Herry sebagai bentuk upaya memberikan efek jera.
Erasmus menilai logika berpikir hakim serupa dengan bagaimana restitusi dikonstruksikan di dalam perundang-undangan di Indonesia, dibuktikan dengan masih dijatuhkannya pidana pengganti jika restitusi tidak dapat dibayarkan oleh pelaku.