Padahal, terang dia, restitusi seharusnya diposisikan di dalam diskursus hak korban, bukan penghukuman terhadap pelaku.
Jika mengikuti logika berpikir hakim, ujar Erasmus, maka hakim akan menghadapi pembatasan di dalam Pasal 67 KUHP yang melarang penjatuhan pidana tambahan lain kepada terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.
Baca Juga:
Akibat Pungli Rp160 Juta, Mantan Lurah di Semarang Dihukum 4 Tahun
"Hal inilah yang di dalam putusan lalu menjadi masalah bagi hakim di tingkat pertama, bahwa ketika hukuman yang maksimal sudah diberikan kepada pelaku, maka hukuman lain tidak dapat dijatuhkan," ucap Erasmus.
"Maka dari itu, untuk mengatasi kekacauan ini, seharusnya hukuman mati tidak boleh dijatuhkan di dalam kasus apa pun, khususnya kekerasan seksual di mana korban membutuhkan restitusi untuk mendukung proses pemulihannya," pungkas dia.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Bandung mengabulkan banding dari Jaksa dan menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan.
Baca Juga:
Hakim Pengadilan Kendari Vonis Seumur Hidup Pembunuh Ibu Mertua di Sultra
Vonis PT Bandung itu membatalkan vonis peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Bandung yang menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup terhadap Herry.
Selain vonis pidana mati, Herry juga diwajibkan membayar restitusi sebesar Rp300 juta lebih. Vonis ini menganulir putusan PN Bandung, yang sebelumnya membebaskan Herry dari hukuman pembayaran ganti rugi terhadap korban tersebut.
Kuasa Hukum Herry Wirawan Buka Suara