Saat ini, Ali mengatakan pemerintah memang sudah punya program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
FLPP adalah dukungan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Baca Juga:
Pendaftaran Fuel Card 5.0 dibuka, Ini Lokasi dan Persyaratan yang Harus di Persiapkan
Namun, Ali menilai pengembang kesulitan membangun rumah dengan fasilitas FLPP. Masalahnya, patokan harga rumah FLPP masih sama seperti 2021 lalu di tengah kenaikan harga bahan bangunan.
"Saat ini pengembang perumahan FLPP agak kesulitan membangun karena patokan harga baru belum juga ditetapkan pemerintah. Pengembang merasa harus ada kenaikan karena bahan bangunan naik. Rencana ada kenaikan 7 persen tapi belum resmi," papar Ali.
Harga patokan rumah FLPP diatur dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 995/KPTS/M/2021 tentang Batasan Penghasilan Tertentu, Suku BUnga/Marjin Pembiayaan Bersubsidi, Masa Subsidi, Jangka Waktu Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah, Batasan Luas Tanah, Batasan Luas Lantai, Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak dan Satuan Rumah Susun Umum, dan Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka.
Baca Juga:
Usai MA Batalkan Vonis Bebas Kasus Timbun BBM, AKBP Achiruddin Langsung Ditahan
Dalam aturan itu disebutkan harga rumah umum tapak di Jawa dan Sumatera paling besar Rp150,5 juta, serta Kalimantan Rp164,5 juta.
Kemudian, Sulawesi, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai, dan Kepulauan Riau Rp156,5 juta, Maluku, Maluku Utara, Bali, Nusa Tenggara, Jabodetabek, Kepulauan Mahakam Ulu Rp168 juta, serta Papua dan Papua Barat Rp219 juta.
Selain FLPP, Ali mengatakan pemerintah juga bisa mendorong pembangunan hunian vertikal di kawasan industri. Lalu, memberikan kemudahan bagi pekerja di kawasan industri untuk membeli rumah tersebut.