Selain itu, Sahat mengungkapkan meski RI merupakan produsen CPO terbesar, namun faktanya Indonesia buat penentu harga internasional (price leader). Ia menuturkan dari total produksi Indonesia, hanya 35 persennya saja yang mampu diserap oleh konsumsi dalam negeri.
Karena mayoritas produksi masih diekspor ke pasar internasional, ia menyebut harga patokan pun mau tak mau mengikuti pasar luar, seperti acuan Rotterdam.
Baca Juga:
KPPU Terima 14 Ribu Petisi, Desak Usut Tuntas Dugaan Kartel Minyak Goreng
"Sawit itu tidak lagi milik Indonesia, sawit itu sudah menjadi komoditas dunia karena volume kita pun hanya 35 persen yang domestik, yang 65 persen kan harga di pasar luar negeri," terang dia.
Sahat pun balik mempertanyakan alasan di balik gembar-gembor KPPU saat harga CPO melonjak. Pasalnya, ia menilai saat harga CPO sedang jeblok dan petani sawit menjerit, tak ada intervensi yang dilakukan.
Dia juga mengklaim sudah sejak 2016 meminta pemerintah untuk mengatasi volatilitas gejolak harga yang kerap terjadi. Ia sempat mengusulkan agar di setiap daerah bisa diinvestasikan mesin packing minyak goreng agar harga bisa ditekan ,mengingat saat ini kebanyakan pabrik berpusat di Pulau Jawa, sedangkan kebunnya di luar Jawa.
Baca Juga:
Soal Dugaan Kartel Migor, KPPU Panggil 19 Perusahaan
Sayangnya, kata Sahat, tak ada yang menanggapi usulannya. "Jadi saya lihat ini ada movement (gerakan) politik apa? Tapi saya tidak mau menyangkut ke situ. Namun, realitasnya bahwa harga produksi itu sangat dipengaruhi oleh harga pasar internasional," jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris PTPN Group Dahlia Mutiara Chairuman menyatakan pihaknya belum bisa menjawab dan harus melakukan pengecekan ke divisi terkait. "Saya teruskan dahulu ke divisi terkait," jawabnya.
Sebelumnya, KPPU mengendus sinyal penetapan harga serempak alias kartel oleh perusahaan minyak goreng dalam negeri. Pasalnya, harga minyak goreng dalam negeri melambung walau setiap produsen minyak goreng di Indonesia memiliki kebun kelapa sawit (CPO) masing-masing.