Panangian menilai pemerintah bisa memberikan andil pada persoalan ini dengan menjadi jembatan antara pengembang dengan konsumen. Hal itu untuk menjembatani adendum yang dibuat kedua belah pihak nantinya.
"Pemerintah turun tangan sebagai penengah, maksudnya menjadi semacam saksi mengikat kesepakatan yang ada di dalam adendum. Adendum mengatakan pengembang berjanji menyerahkan unit tanggal dan bulan sekian, sebaliknya konsumen berjanji mengikuti semua jadwal itu," terangnya.
Baca Juga:
Perbedaan Hukum Perlindungan Konsumen dalam Berbagai Bidang
Menurutnya, opsi seperti itu bisa saja dilakukan. Namun kembali lagi bagaimana keputusan yang diambil pemerintah. Paniangan skeptis hal itu bisa berjalan. Sebab, kata Paniangan, pemerintah saat ini lebih pro kepada investor, daripada konsumen.
"Jadi dengan kesaksian pemerintah, konsumen lebih tenang. Tapi saya ragu pemerintah enggak mau," ujarnya.
Adapun terkait pengembalian dana atau refund yang saat ini dituntut oleh konsumen, Panangian mengatakan hal tersebut memang ada kemungkinan untuk bisa dilakukan. Namun karena bentuk transaksinya berupa kontrak, tentu melihat bagaimana klausul di dalamnya.
Baca Juga:
Mantan Ajudan Eks Mentan SYL Dapat Perlidungan dari LPSK
Perlindungan Konsumen Tidak Kuat
Lebih lanjut, Panangian menyoroti regulasi properti di Indonesia saat ini. Menurutnya, perlindungan konsumen di Indonesia masih rendah. Berbeda dengan di Singapura.
"Jadi ada semacam perlindungan dari pemerintah, bahwa pengembang tak boleh ambil uang ketika proyek belum jadi. Atau dalam proses pengambilan uang itu, boleh sesuai dengan progres. Jadi 30 persen dibayar 30 persen," jelasnya.