MK beralasan apa yang dikehendaki Robby bukanlah kewenangan MK untuk memutuskan, melainkan hak DPR untuk merumuskan delik tersebut.
"Persoalan hukum yang dipermasalahkan Pemohon adalah kebijakan kriminal dalam arti menjadikan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana dimana kebijakan demikian adalah politik hukum pidana yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," beber 9 hakim konstitusi dengan bulat.
Baca Juga:
Suap ke Ade Yasin dari Pihak Swasta Diduga Melalui Ajudan
Apalagi yang dipersoalkan dalam permohonan a quo adalah tentang pidana yang berkait dengan penghukuman terhadap orang/manusia.
Jadi DPR, meskipun memiliki kewenangan untuk itu dalam merumuskan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar feit), harus sangat hati-hati.
MK menegaskan kebijakan kriminalisasi itu adalah hak DPR dan Presiden untuk merumuskannya dalam UU atau merevisi KUHP.
Baca Juga:
Ingin Kuasai Harta, Pria di Dairi Tega Bunuh Nenek Kandung
"Menyatakan suatu perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana harus mendapat kesepakatan dari seluruh rakyat yang di negara Indonesia diwakili oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden. Dengan demikian, maka dalam hubungannya dengan permohonan a quo, persoalannya adalah bukan terletak pada konstitusionalitas norma melainkan pada persoalan politik hukum dalam hal ini politik hukum pidana," ucap majelis.
Selain itu, kata MK, telah menjadi pengetahuan bagi kalangan ahli hukum bahwa kehati-hatian dalam merumuskan hukum pidana sangat dibutuhkan karena sifat khusus yang dimiliki oleh hukum pidana itu, yaitu adanya penderitaan yang bersifat khusus (bijzondere leed) dalam bentuk hukuman kepada pelanggarnya yang mencakup pembatasan atau perampasan kemerdekaan, bahkan nyawa.
Oleh karena itulah hukum pidana diposisikan sebagai 'obat terakhir' (ultimum remedium) untuk memperbaiki perilaku manusia, setelah didahului oleh pemberlakuan norma hukum maupun norma-norma kemasyarakatan lainnya.