Sepanjang tahun 2021, jagat diskusi publik telah dipenuhi oleh keinginan para aktivis HAM untuk menghapuskan pidana mati di Indonesia. Pidana tersebut juga memperoleh kecaman dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beserta seluruh organisasi afiliasi, termasuk The United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) atau Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kejahatan.
Kecaman tersebut berlandaskan pada argumen bahwa hukuman mati bersifat permanen dan tidak dapat diubah (irreversible), serta melanggar HAM yang paling fundamental, yaitu hak untuk hidup.
Baca Juga:
Soal Vonis Mati Pemerkosa 13 Santri, Komnas Perempuan Ingatkan Pemenuhan Hak Korban
Lantas, bagaimana gambaran apabila pidana mati tetap dijatuhkan kepada Herry Wirawan?
Dampak pada pemulihan korban
Dikutip dari laman resmi ICJR, Peneliti Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan bahwa memberi pidana mati dapat menghambat fokus pada pemulihan korban untuk ke depannya.
Baca Juga:
Herry Wirawan Akan Dieksekusi Mati, Kemenag : Pelajaran Berharga
Alih-alih memperoleh perlindungan, korban kekerasan seksual yang memiliki keterkaitan dengan Herry Wirawan akan menuai atensi publik, khususnya dari orang-orang yang berada di sekitar mereka. Apalagi, sebagian besar pelaku kekerasan seksual berasal dari orang terdekat korban, bahkan orang yang menanggung kelangsungan hidup korban.
Lebih lanjut, hukuman mati yang diberikan kepada Herry Wirawan tidak menutup kemungkinan dapat mendatangkan ancaman baru kepada korban dan orang-orang di sekitar korban. Ancaman tersebut mungkin saja berasal dari rekan terdekat Herry Wirawan yang merasa tidak setuju dengan vonis tersebut dan menyalahkan korban.
Dalam tulisannya, Maidina juga memperingatkan agar jangan sampai pidana mati mengakibatkan korban kekerasan seksual yang lain menjadi takut untuk melaporkan apa yang mereka alami karena merasa takut sosok yang mereka laporkan dapat memperoleh hukuman mati.