Kemungkinan tersebut menunjukkan sisi kontraproduktif dari implementasi pidana mati terhadap pelaku kekerasan seksual.
Oleh karena itu, menurut Maidina, pidana mati terhadap pelaku kekerasan seksual justru akan membuat ruang aman bagi korban terganggu, serta menciptakan ketakutan baru bagi korban untuk melaporkan pengalaman mereka.
Baca Juga:
Soal Vonis Mati Pemerkosa 13 Santri, Komnas Perempuan Ingatkan Pemenuhan Hak Korban
Tidak hanya terbatas pada ketakutan baru, pidana mati juga menarik perhatian publik menjauh dari pentingnya pemulihan korban kekerasan seksual.
Padahal, pemulihan korban kekerasan seksual telah menjadi salah satu isu krusial dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Karenanya, para aparat penegak hukum harus benar-benar mempertimbangkan aspek pemulihan sebelum mengajukan tuntutan maupun menjatuhkan vonis.
"Restorative Justice"
Baca Juga:
Herry Wirawan Akan Dieksekusi Mati, Kemenag : Pelajaran Berharga
Menghilangkan nyawa seorang pelaku kekerasan seksual tidak berarti memulihkan luka yang diderita oleh korban.
Sebagaimana yang menjadi prinsip dari restorative justice atau keadilan restoratif, aparat penegak hukum seharusnya berorientasi pada penyelesaian konflik di dalam masyarakat, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai.
Sedangkan, pidana mati tidak pernah terbukti memberikan efek jera kepada pelaku. Maidina mengungkapkan bahwa pidana mati terhadap pelaku kekerasan seksual tidak mengurangi angka terjadinya kekerasan seksual. Ia mengambil contoh pidana mati untuk kekerasan seksual yang terjadi di India, Bangladesh, dan Pakistan.