Dia tidak mengetahui kepentingan PTPN 2 dan BUMN menetapkan harga ganti rugi lahan eks HGU.
Kalau dalam konsideran bahwa pembayaran ganti rugi untuk penghapusbukuan, Saidin mempertanyakan kantor gubernur Sumut yang bisa dihapusbuku dengan harga Rp 1.000, padahal lahan merupakan eks HGU PTPN 2.
Baca Juga:
KHLK: Industri Pelet Kayu Gorontalo Berpotensi Gantikan Batubara untuk Listrik
Sedangkan untuk lahan eks HGU seluas 5.873,06 hektar, appraisal memberi nilai puluhan ribu sampai jutaan rupiah per meter persegi.
“BUMN dan PTPN 2 sudah menjual tanah, berarti tanah itu bukan eks HGU lagi kalau dengan harga appraisal. Makanya saya katakan, lembaga appraisal yang terlibat dalam kasus ini memberikan penilaian yang keliru,” kata ketua program studi magister hukum USU ini.
Lahan eks HGU seluas 5.873,06 hektar yang dikeluarkan, sudah diverifikasi oleh tim B-Plus pada 2000 dan terdapat dasar mengapa tanah tersebut dikeluarkan. Beberapa pertimbangannya seperti tanah sudah digarap masyarakat, untuk kepentingan karyawan PTPN 2 dan penghargaan terhadap Suku Melayu.
Baca Juga:
Menteri ATR/BPN AHY Sebut Anggaran Tambahan 2024 untuk Program Kementerian
Tanah yang dikeluarkan adalah tanah-tanah yang bersih, bebas dari klaim dan garapan. Tanah yang diberikan kepada masyarakat Melayu adalah penghargaan terhadap hak adat karena tanah diambil dari konsesi Kesultanan Melayu Langkat Deli dan Serdang yang dikonversi melalui Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958.
“Kalau yang namanya penghargaan, kok diminta pembayaran sebesar Rp98.000 per meter?" kata Saidin.
Dia menambahkan, BUMN adalah suatu entitas badan hukum, bagaimana bisa memperkaya dirinya. Baginya, keuntungan negara yang merugikan orang lain, juga bentuk korupsi.