Menyikapi hal ini, Pemerintah China, lewat National Energy Administration (NEA) dan National Development and Reform Commision (NDRC), terus mendorong peningkatan produksi batubara dari lokasi tambang terbaiknya, yaitu Shanxi, Shaanxi dan Inner Mongolia.
Krisis energi China saat ini merefleksikan betapa tidak mudah menghadapi dua masalah yang saling kontradiktif, antara visi jangka panjang untuk membatasi penggunaan batubara, dan sebaliknya memenuhi kebutuhan energi dalam jangka pendeknya.
Baca Juga:
Sederet Biskuit Asal Malaysia Diklaim Mengandung Zat Pemicu Kanker
Tingginya harga batubara seolah memberi pesan, betapa kompleks dan rapuhnya pasar komoditas energi, bersamaan dengan kompleksitas transisi energi yang akan terjadi.
Ada saling keterkaitan antara tingginya ketergantungan energi global, dan mata rantai pasokan berbagai energi fosil.
Penetapan harga batubara, tak lagi sebatas memetakan permintaan dan penawaran.
Baca Juga:
Menteri PDTT: 20 Investor Akan Borong Produk Unggulan Desa di Bali
Selain mata rantai pasokan, evaluasi kebijakan energi, dan rencana ke depan berbagai negara adalah faktor lain yang melekat di dalamnya.
Pasar batubara bukan lagi pasar yang tak begitu elastis (less elastic).
Harga batubara yang mampu terdorong naik sampai 300 persen sejak pertengahan Desember 2020, membuktikan harga batubara sangat volatile.