Salah satu konsideran pembentukan ini adalah perkembangan konsep pemidanaan yang tidak berorientasi pada pembalasan merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan pidana.
Dengan adanya restorative justice ini menjadi dasar bagi Jaksa untuk melakukan penutupan perkara karena telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).
Baca Juga:
Kejari Tangerang Selesaikan Pencurian dengan Restorative Justice
Penghentian penuntutan berdasarkan restorative justice dengan mempertimbangkan: subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana; latar belakang terjadinya dilakukannya tindak pidana; tingkat ketercelaan; kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana; cost and benefit penanganan perkara; pemulihan kembali pada keadaan semula; dan adanya perdamaian antara korban dan tersangka.
Kualifikasi pelaku dan kerugian dari tindak pidana yang bisa dilakukan restorative justice adalah:
(a) tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
Baca Juga:
PERMA Nomor 1 Tahun 2024, Komnas Perempuan: Keadilan Restoratif Penting untuk Pemulihan dan Keadilan Korban
(b) tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
(c) tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Sebagai fungsi pemutus dan pengawas dari keberlakukan criminal justice system, Mahkamah Agung juga telah mengatur mengenai mekanisme restorative justice melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/DK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).