Oleh karena itu, penting pembatasan mengenai kriteria kerugian dan syarat untuk tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, konstitusi, hak asasi manusia dan prinsip umum dalam negara demokratis.
Kedua, perubahan paradigmatik mengenai konsepsi penghukuman yang mulai beralih dari konsep konsepsi pembalasan (retributif/absolute) yang berupaya semaksimal mungkin memberikan efek jera dengan penghukuman yang keras berubah menjadi konsep verbeterings/rehabilitasi dengan fokus pada perbaikan pelaku untuk dapat berintergrasi dengan masyarakat.
Baca Juga:
Kejari Tangerang Selesaikan Pencurian dengan Restorative Justice
Ketiga, pidana kerja sosial dapat diterapkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau jumlah denda tertentu.
Pidana kerja sosial dijatuhkan paling singkat 8 (delapan) jam dan paling lama 240 (dua ratus empat puluh) jam.
Keempat, penguatan terhadap mekanisme judicial pardon yang secara konsep diarahkan pada pemberian kewenangan kepada hakim untuk memberikan pemaafan atau pengampunan kepada orang yang melakukan tindak pidana.
Baca Juga:
PERMA Nomor 1 Tahun 2024, Komnas Perempuan: Keadilan Restoratif Penting untuk Pemulihan dan Keadilan Korban
Selain sebagai bagian dari perkembangan restorative justice dan koreksi terhadap penerapan asas legalitas, ketentuan ini akan memperluas konsep alasan pemaaf bagi pelaku tindak pidana yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHP terhadap perbuatan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.
Mendasarkan keseluruhan uraian di atas, maka sejatinya restorative justice secara normatif telah menjadi satu mekanisme penyelesaian perkara hukum dalam konteks criminal justice system dengan stakeholder utama di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.
Keberhasilan dari penerapan konsep restorative justice bergantung pada ketepatan dalam penentuan personalisme, perumusan reparasi, proses reintegrasi dan partisipasi penuh dari para pihak.