Pembaruan KUHP
Baca Juga:
Kejari Tangerang Selesaikan Pencurian dengan Restorative Justice
Kamis, 30 September 2021, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah sepakat untuk memasukan tiga Rancangan Undang-Undang termasuk satu di antaranya mengenai Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (KUHP) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021.
Mahfud MD, selaku Menkopolhukam dalam Diskusi Publik RUU KUHP pada 21 Juni 2021 menyebut lamanya waktu pembahasan sejak tahun 1963 dan penyusunan disebabkan adanya resultan sebagai hasil kesepakatan antar stakeholders yang memiliki pendapat beragam dan mewakili kepentingan yang berbeda-beda.
Beberapa faktor yang memengaruhi di antaranya kemajemukan bangsa Indonesia sehingga akar pemikirannya sangat berbeda, dan pertentangan antara universalisme dan partiklarisme seperti implementasi Universal Decalaration on Human Rights.
Baca Juga:
PERMA Nomor 1 Tahun 2024, Komnas Perempuan: Keadilan Restoratif Penting untuk Pemulihan dan Keadilan Korban
Meskipun demikian, dalam pandangan penulis, tampaknya substansi dalam RUU KUHP memiliki irisan konsep restorative justice yang didasarkan pada tiga kriteria berikut:
Pertama, mulainya penataan mengenai kearifan lokal atau penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).
Pengaturan ini memang telah menimbulkan diskurus mengenai sejauh mana hukum yang diakui, implikasi terhadap pelaksanannya dan apakah penerapannya justru bertentangan dengan konsep hak asasi manusia yang menghindari perlakuan kejam dan tidak manusiawi.